Beragam hal terdapat di dunia ini, baik dari segi budaya maupun dari masyarakatnya. Negara Kesatuan Republik Indonesia pun terdiri dari berbagai suku dan budaya. Tiap suku maupun masyarakat yang ada memiliki identitas dan adatnya masing-masing. Namun masyarakat adat sulit didefinisikan akibat keberagaman yang ada.
Hal tersebut saat ini menjadi pokok bahasan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Bosowa (Unibos) di Ruang Senat Unibos pada Kamis, (06/12/2018).
Kegiatan tersebut terdiri dari Workshop Penelitian Masyarakat Adat yang bertajuk Beyond Native: Trajectory of Indigenous Perspective in International Relations, Studium Generale yang bertajuk Voice of Global Indigeneity: Recognizing the Struggle of Indigenous People in Indonesia, dan Seri Kuliah Tamu yang mengusung tema ‘Mendengarkan Pasang Ri Kajang’.
Rukka Sombolinggi selaku Sekjen AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) hadir sebagai pembicara kunci dalam kegiatan itu. Sedangkan Eko Rusdianto selaku seorang jurnalis dan peneliti yang memiliki pengalaman dalam hal ini mengenai masyarakat adat hadir sebagai penanggap. Ketua Program Studi Hubungan Internasional juga turut hadir dalam kegiatan yang menghadirkan Arman Muhammad dan Sardi Razak sebagai fasilitator tersebut.
“Terminologi masyarakat adat itu sendiri lahir ketika para ketua dari tiap masyarakat adat yang ada bermusyawarah untuk menentukan istilah penyebutan mereka sebagai korban pembangunan negara saat itu”, ucap Rukka saat memaparkan materinya.
“Karena masyarakat adat ini beragam atau bermacam-macam jadi sulit didefinisikan. Ini menjadi tugas negara untuk menentukan definisi sesuai situasi dan kondisi negara masing-masing. Di Indonesia pun tidak ada definisi mengenai masyarakat adat”, lanjutnya.
Untuk seri kuliah tamu sendiri menghadirkan Topo, Perwakilan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba. “Penakluk masyarakat adat ialah negara, modal, dan agama. Contohnya ketika agama kristen masuk ke Toraja, melarang upacara adat seperti upacara penyembuhan, upacara pengusiran hama, bahkan pembuatan artefak. Artefak katanya harus dibakar padahal tidak dibakar tapi dibawa pulang ke negaranya. Coba ke Amerika, Amsterdam, tengok museumnya. Pasti ada”, jelas Sekjen AMAN tersebut.
“Bahkan hingga saat ini, komunitas adat terpencil dianggap memiliki penyakit sosial”, imbuhnya.
—